“Ibu…..Engkau Hanya Satu
Ku di belai dan dipangku…”
            Bait di atas selalu terekam dalam diingatan ku, kala itu Ibu melatih ku untuk mengikuti lomba Puisi Hari Ibu. Ada beberapa bait yang tertinggal namun dibait yang tersisa menjadi pengalaman yang tak pernah ku lupakan sampai kapanpun itu.
            Ibu, masih ingatkah kala itu, kita bersama melewati jembatan dan aku tidak ingin di tuntun mu untuk saling berjalan bersama, kemudian aku pun berjalan dibelakang mu. Tiba-tiba kaki kiri ku terjatuh, ternyata beberapa jembatan kayu yang kita lalui itu lapuk, tepat pada jalan yang ku pijak kayu itu terjatuh ke aliran air yang cukup deras. Untung saja kaki kanan ku masih tersangkut diatas, kemudian tangan ku juga memegang erat kayu yang tersisa, kulihat ibu masih terus berjalan, aku sempat terdiam beberapa detik sebelum aku berteriak memanggil ibu. Lalu, ibu segera menolong, dan mengangkat ku segera. Pada saat itu aku tak mengeluarkan air mata, yang aku ingat hanyalah tanganku menggigil akan kejadian yang telah terjadi, sedikit omelan kecil, ibu mengulang-ulang perkataannya agar ku selalu berhati-hati. disaat kami telah duduk di becak (alat angkutan) Banjarmasin 1998.    
           Aku benar-benar capek, sangat capek ketika ibu selalu saja memerintahkan ku untuk berlatih dalam mengikuti perlombaan ini itu, atau untuk berlatih di acara pentas yang aku rasa itu bukan lah keinginan ku. Aku tidak suka memakai sanggul besar karena semua itu membuat kepala ku benar-benar gatal, ditambah lagi aku harus berjalan diatas pentas dengan rok batik panjang yang membatasi langkah gerakku. Aku juga tidak suka menyanyi, tapi ibu justru meminta ku untuk bernyani bersama grup vokal yang telah dibentuk. Ntah lah, aku tidak dapat membayangkan suara ku pada masa silam itu. Disuatu waktu, aku diikutsertakan pada kelompok tari saat itu aku berperan sebagai bunga yang dikelilingi dengan kupu-kupu, itu sungguh menyenangkan dan aku suka, tetapi justru ibu tidak suka aku mengikuti kelompok tari. Bahkan disaat usia ku 8 tahun aku masuk dalam sanggar tari tradisional, ibu justru menunjukkan wajah ketidak sukaannya. Oke baiklah, mungkin jalan ku bukan disana. Ibu, kita memang berbeda. Kita selalu saja berdebat tentang banyak hal, dari hal-hal terkecil seperti ibu menemani ku untuk membeli baju, aku selalu meminta pendapat mu tetapi terus saja ibu tidak setuju dengan ku.
            Masa kecil itu, ibu membawaku merajut kisah untuk dapat ku kenang dan bisa kuceritakan kini pada dunia. Ibu pula lah yang mengantarku dalam mencapai cita-cita dan angan ku. Semua yang ia lakukan hanya demi anaknya, namun pengertian ku berbeda saat itu. Aku selalu saja berprasangka buruk padanya. Yang ku inginkan hanyalah bermain dan melakukan banyak hal, hanya ada aku dan duniaku. Namun kini, aku mengerti segala yang ia lakukan dan semua pilihannya untuk ku, itulah yang terbaik. Kasih mu sepanjang masa, ibu.

Post a Comment

Author Name

{picture#https://1.bp.blogspot.com/-AR1lqziIsEU/VoPajR7EhlI/AAAAAAAAgpw/5dSD-JTcBQ4/s1600/SIJ%2BLogo.png} Sahabat Ilmu Jambi Menebar Ilmu Membuka Cakrawala {facebook#https://www.facebook.com/sahabatilmujambi} {twitter#https://twitter.com/sahabatilmujbi} {google#https://plus.google.com/+RikkySuryadi} {youtube#https://www.youtube.com/watch?v=CNkT08BrWk8} {instagram#https://www.instagram.com/sahabatilmujbi}

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.